A.    SEJARAH SINGKAT KABUPATEN MUNA

Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan propinsi Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh muda dan tokoh tua baik yang ada di muna ataupun yang ada diperantauan, baik perorangan maupun organisasi. Tokoh Muda seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode Enda  dan La Ode Taeda Ahmad dikenal sangat gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi Sulawesi Tenggara. Dengan oraganisasi para militer yang dibentuknya seperti  Batalyon SADAR ( Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 mereka terus menggalang dukungan guna perwujudan pembentukan kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.

Bataliyon SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk melakukan penjajaahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa patriotism yang tinggi Tokoh-Tokoh Muna tersebut melakukan perlawanan melalui gerakan bawah tanah dan perang terbuka. Tujuannya adalah mengusir  colonial tersebut dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.

A. Fase I (Pertama), Pemerintahan Swapraja

Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.  Para pejuang Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna melakukannya dengan  cara-cara yang lebih cerdik.  Para tokoh dan rakyat pejuang daerah Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S

B. Fase II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan

Pada fase ini ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20 Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, oleh :

1. Abdul Razak,

2. Ngitung,

3. Andi Pawilloi,

4. H Lethe,

5. H Suphu Yusuf,

6.  Andi Jamuddin, dan,

7.  F Latana. 

C. Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna

Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf.

Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955. Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan unjuk rasa dilakukan oleh para pemuda Muna baik yang ada di Muna maupun yang ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna.

Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak 102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna), membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya

Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga dan  disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah setingkat  Kabupaten juga muncul dari generasi muda Muna yang ada  di Makassar.  Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk panitiaa penuntutan percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan Ketua La Ode Walanda dan sekretaris  Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus delegasinya untuk mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode Muh. Idrus Efendi. Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada perundingan-perundingan yang akan datang.

Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.

Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati

Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.

Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah, empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka).

D. Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna

Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.

Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti. Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh – tokoh tersebut untuk bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten Muna sudah tidak ada masalah lagi.

B.    PENGADILAN AGAMA RAHA

Sebagaimana telah diamanatkan Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 ayat (1) tentang sifat dan karakter kekuasaan Kehakimam dengan menyatakan “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan Hukum dan Keadilan “ demi  terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia Untuk mewujudkan amanat konsitusi diatas, Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, merasa bertanggung jawab sekaligus tertantang guna mewujudkan terselenggaranya manejemen Peradilan sebagai lembaga yang profesional, efektif, efesien, transparan serta akuntabel, tidak saja di lingkungan Mahkamah Agung tetapi juga 4 (empat) lingkungan Peradilan dibawahnya sebagai konsekuensi kebijakan “ satu atap “.

Pengadilan Agama Raha didirikan dan dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 87 Tahun 1966 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah/Kerapatan Qadhi yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Pada Tahun 1969 - 1977 kantor Pengadilan Agama Raha masih nomaden dengan menyewa rumah warga setempat, baru pada tahun 1978 Pengadilan Agama Raha dapat membangun Gedung Kantor sendiri dengan ukuran 10 x 15 M2  dibangun diatas tanah hibah dari Pemerintah Daerah Kabupaten TK.II Muna beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 30   yang dibiayai melalui APBN melalui DIP 1977/1978 Kendatipun volume dan tata ruangannya masih belum sesuai dengan prototype dan belum memenuhi kriteria kantor yang representative sebagai sebuah kantor pelayanan bagi masyarakat, namun Pengadilan Agama  Raha tetap bertekad dan berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat para pencari keadilan.

Pada tahun 2008 Kantor Pengadilan Agama Raha mendapat Anggaran Pembangunan Kantor Baru dua lantai dengan prototype standar Pengadilan Agama seluruh Indonesia dari DIPA Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berdiri diatas tanah seluas 5000 M2 yang merupakan hibah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Muna atas usaha Bapak Drs. H.A. Majid Jalaluddin, M.H. sebagai Ketua Pengadilan Agama Raha pada saat itu, dan tepat pada tanggal 25 Mei 2009 hingga sekarang, segala aktivitas perkantoran Pengadilan Agama Raha secara resmi pindah di Kantor Pengadilan Agama Raha yang baru di Jalan Gatot Subroto Poros Raha-Tampo.

Pengadilan Agama Raha  merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman pada tingkat pertama bagi para pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang berada di wilayah yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Kendari.

Pengadilan Agama Raha  adalah Pengadilan Agama kelas II  merupakan Yurisdiksi dari Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Tenggara. Pengadilan Agama Raha terletak di Jl. Gatot Subroto Poros Raha-Tampo. Pembagian wilayah hukum Pengadilan Agama Raha  meliputi 3 Kabupaten di Provinsi  Sulawesi Tenggara, yakni Kabupaten Muna yang terdiri dari 21 Kecamatan, Kabupaten Muna Barat  yang terdiri dari 11 Kecamatan dan Kabupaten Buton Utara 6 Kecamatan.